Enam Teori G30S/PKI



Menurut penulis In the Spirit of the Red Banteng: Indonesian Communism between Moscow and Peking ini, Bung Karno memang terlibat dalam peristiwa yang dikenal dengan nama G-30-S/PKI atau kudeta 1965 itu. Endang Suryadinata peminat sejarah Indonesia-Belanda, alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam.

"The history of states and nations has provided some income for historiographers and book dealers, but I know no other purpose it may have served" (Borne)

Kutipan di atas rasanya tepat untuk menggambarkan "keuntungan" yang didapatkan oleh Prof Dr Antonie C.A. Dake, sejarawan Belanda, setelah karyanya yang berjudul Sukarno File, Berkas-berkas Sukarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Buku itu dirilis di Jakarta pada 17 November. Namun, "keuntungan" yang diraih Dake juga menuai gugatan keluarga Bung Karno.

Atas kekecewaan bahkan gugatan Sukmawati, Dake, yang meraih gelar sarjana hukum di Universitas Amsterdam, lalu master di Fletcher Schoo! l of Law and Diplomacy di Massachusetts, dan doktor di Universitas Freie Berlin itu hanya bisa memohon maaf. Menurut penulis In the Spirit of the Red Banteng: Indonesian Communism between Moscow and Peking ini, Bung Karno memang terlibat dalam peristiwa yang dikenal dengan nama G-30-S/PKI atau kudeta 1965 itu.

Keterlibatan itu bisa dibaca dari indikasi bahwa Bung Karno tidak hanya sekadar mengetahui akan terjadinya aksi pembersihan terhadap sejumlah jenderal Angkatan Darat. Konon, Bung Karno pernah minta tolong kepada Untung untuk menertibkan para jenderal yang dianggapnya tidak loyal, tidak setia, dan antikomunis. Dalam buku yang diterbitkan Aksara Karunia itu, Dake menulis bahwa Soekarnolah orang yang mengadu domba Angkatan Darat dengan PKI serta antarpemimpin Angkatan Darat sendiri.

Memang, kalau kita membicarakan peristiwa 1965, selama ini sudah berkembang banyak teori. Versi Dake merupakan salah satunya, kalau tidak mau disebut lagu lama yang diaransir baru. John Hughes juga pernah mendukung versi Dake. Berikut ini beberapa teori lain yang berkembang.

Pertama, teori Arnold Brackman, yang mengutip Buku Putih Orde Baru menyebutkan bahwa dalang peristiwa itu PKI dan Biro Khususnya, dengan merekayasa ABRI. Motifnya merebut kekuasaan dan menciptakan masyarakat komunis di Indonesia.

Kedua, teori Cornell Paper, yang menyebut pelaku utama adalah sebuah klik Angkatan Darat. Peristiwa itu persoalan konflik internal di tubuh Angkatan Darat dengan memancing agar PKI terlibat. Wertheim, Cornel Paper, Coen Hotzappel, dan M.R. Siregar mendukung teori ini.

Ketiga, teori yang dipopulerkan Peter Dale Scott dan Geoffrey Robinson bahwa otaknya adalah CIA yang ingin menjatuhkan Soekarno yang dianggap pro-PKI.

Keempat, teori yang dicuatkan Greg Poulgrin. Menurut dia, skenario besar CIA (seperti teori Peter Cale Scott) bertemu dengan Inggris yang mempunyai motif melindungi kepentingan aset-asetnya dengan cara menghentikan politik Soekarno yang vokal terhadap para neoimperialis seperti AS dan Inggris.

Kelima, teori seperti yang dikemukakan Bung Karno sendiri dalam Nawaksara bahwa dalam G-30-S tidak ada pelaku tunggal. Ada konspirasi antara unsur-unsur nekolim (neokolonialisme dan imperialisme) yang ingin menggagalkan jalannya revolusi Indonesia. Gerakan itu juga didukung oleh segelintir pemimpin PKI dan oknum-oknum Angkatan Darat. Oei Tjoe Tat, Manai Sophiaan, dan para Soekarnois lain meyakini teori semacam ini.

Keenam, teori yang muncul setelah lengsernya Soeharto pada 1998 yang diyakini oleh Ben Anderson bahwa dalam peristiwa 1965, Soeharto terlibat. Sebab, siapakah yang paling diuntungkan den! gan peristiwa itu? Hanya Soeharto yang selama 32 tahun mampu menggenggam kekuasaan di negeri ini. Dan selama Orde Baru berkuasa, sejarah telah menjadi alat propaganda untuk melanggengkan kekuasaan. Karena itu, tidak boleh ada teori lain, terlebih mengenai peristiwa G-30-S, selain versi pemerintah Orde Baru.

Mana teori yang paling benar? Apa pun jawabannya, yang pertama-tama paling diuntungkan, entah keuntungan finansial entah politis, tentu saja adalah para sejarawan atau para penulis teori itu, seperti bunyi kutipan di awal tulisan ini. Tapi bagaimana dengan tanggung jawab keilmuan para sejarawan? Untuk menjawab yang terakhir ini kiranya juga dibutuhkan sejarawan tersendiri untuk menyelidikinya.

Sejarah peristiwa 1965 versi Orde Baru, misalnya, jelas! harus dikritik. Contohnya dalam buku Kesaktian Pancasila di Bumi Pertiwi terbitan BP Alda/Penerbit Almanak RI. Pada halaman 150 terdapat sebuah foto mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan terikat di tepi Bengawan Solo. Dalam keterangan foto tertulis bahwa mereka korban keganasan PKI. Padahal fakta yang benar mayat-mayat itu justru anggota PKI yang dibantai dan mayatnya dibiarkan begitu saja di tepian Bengawan Solo. Dalam hal ini, sejarawan memang harus bisa obyektif dan bukan hanya mengejar keuntungan politis atau finansial. Sejarawan tidak boleh tinggal diam ketika kemanusiaan dikorbankan serta kebenaran dimanipulasi.

Teori Dake mengenai keterlibatan Bung Karno juga perlu dikritik. Apa motif sesungguhnya? Menurut Soekarnois yang masih cukup banyak di Belanda, apalagi di Indonesia, keberadaan Bung Karno memang membuat jengkel negara-negara pengusung neoliberalisme seperti AS atau Belanda serta negara Barat lainnya. Semasa Bung Karno, para neolib atau nekolim tidak bisa menjajah Indonesia seperti sekarang ini. Masih menurut para Soekarnois, buku Soekarno File tampaknya akan dijadikan salah satu persiapan strategi jangka panjang guna memuluskan jalan bagi usaha negara-negara neoliberalisme untuk memecah belah Negara Kesatuan RI.

Meski begitu, menurut salah satu eksponen Angkatan '66, Sugeng Saryadi, membaca Sukarno File ibarat menonton serial televisi X Files: misteri di akhir cerita selalu membuka kemungkinan adanya misteri lain yang masih menyertai. Apa pun kesimpulan kita mengenai peristiwa G-30-S, tampaknya sosok Bung Karno masih tetap memiliki daya tarik. Di tengah membengkaknya utang dan isu terorisme, kita bangsa Indonesia sebenarnya masih butuh sosok pemimpin yang berani menolak untuk didikte Bank Dunia, IMF, dan tangan neolib lainnya. Bagaimana?

Sumber: KoranTEMPO

No comments: