Segalanya Masih Sangat Muda



kau menyebutku orang buangan. 
aku seorang kelana, sebenarnya.
aku tidur dan jaga di atas kudaku. aku dan tungganganku adalah satu.
kami saling meringkik saling menggoda. sambil melintasi kota-kota masa silam,
kuseru kata-kata paling tajam. kubisikkan lagu paling merdu.

ah, betapa ajaib siklus waktu. kutagih pagi dibayar petang. kuminta pulang
diberi buang. tersuruk bagai orang mabuk gadung. menunggu salju turun,
memindai tahun mati.

pernah kuminta camar bersarang dan bertelur di atas tumpukan buku.
menetas jadi lidah-lidah api. huruf-huruf terbakar. kata-kata mengaduh.
bukan karena api tapi karena rindu. anak-bini berbiak di benak, seperti
jamur kuping di kayu lapuk. mekar dalam suhu minus duapuluh. ribuan mil jauhnya,
ribuan mil jauhnya. tapi dapat kudekap dalam sekejap.
bisa kucium dalam sajak.

tapi sajakku, jutaan bintang merah di bawah langit tanpa pintu.
setiap malam melayang-meliuk-menukik, jatuh dan aus di pepucuk putri malu.
serupa arah luku ditarik kerbau mabuk. sajakku jejak kaki kaum tani
yang menghadang buldoser selepas zuhur. racau pemabuk di tepi danau
ketika panen tiba. sedang doa, mantra merah tua itu, hanya bata penyusun
dinding. tindih-menindih, saling jabat. makin tinggi makin pedih.
oh, tuhan pergi dari puncak menara, ternyata.


bukankah tubuh dibikin dari tanah. tapi jiwa menampik bentuk di mula
cipta. menolak rumah di ujung usia. jiwaku pergi kemana ia suka. tidak ke
kubur, bukan ke sorga atau neraka. mungkin ke planet paling jauh. asal ada
kopi dan tembakau dan perempuan bermata biru dan bintang-bintang berekor putih.

mungkin aku akan pulang sebelum sebuah negeri tenggelam oleh kutuk tuhan.
tapi aku tak tahu negeri apa, pulang kemana, tuhan siapa. kugelar peta buta.
telunjukku menusuk seperti ke jantung seorang tiran, ke negeri impian:
satria uzur dan putri cantik, baju zirah dan tombak kayu, kincir angin dan
iblis hijau, seekor keledai kurus dan langit coklat tua. tembok-tembok hitam
yang meruapkan bau gandum, menggemakan sepotong nyanyian orang gipsi:
“sepasang mata perempuan melarutkan hari-hari tuan dalam sekendi khamar”.

tak ada yang datang ke pondokku minggu dini hari itu. orang-orang masih
tertidur di atas panggang musim dingin. mimpi musim panas, sebuah
pulau menyala di lautan. aku terbangun di tahun yang baru tumbuh. tak
ada siapapun. hanya cangkir kopi dan puntung rokok. berserakan
serupa prajurit kalah perang. aku berbenah dan menata ingatan seperti
buku-buku di dalam rak. lalu kusepuh lidahku dengan hai-ku “ tidakkah
kau tahu, katak yang jatuh ke kolam kini menjelma lagu?”
aku dan tungganganku berjalan kearah cahaya. kota-kota baru dibangkitkan. 
segalanya masih sangat muda…

No comments: