selepas siang, aku mengetuk rembang malam
waktu yang lelah
perih kubuka setengah jendela. angin dingin berloncatan masuk
dengan gambar-gambar pesawat yang berdesingan melarikan tangis, airmata, dukalara
dan keping takdir yang seolah begitu saja telah ditulis di atas sebuah bendera
hitam. sehitam mata yang kau biaskan di helai hari. dan aku telah gagal
melukis selengkung pelangi.
setiap sore kutunggu engkau datang dengan aroma tubuh yang kian kukenal
berharap ada cerita baru
tentang kapal-kapal berlayar akan kembali
mengisahkan perantauan amat meletihkan dan engkau ingin bersandar
atau tentang rindumu pada puisi-puisi biru yang kubacakan
dimanakah musim itu. dimana kenangan tersamun hingga dukalah setiap senja
masih kurajut jua. tapi bagiku seperti mimpi telah mencuri
negeri tempat kulagukan cinta. aku telah jemu menangis
berlepas malam penantian robek pada kedamaian. selalu ingat setiap kutitip rindu
saat hatiku jadi sayat. sebab sekedar bayangpun tak mampu kujerat
hanya sesungging kesemuan. hanya nyanyian sayup panjang tak berbingkai
selebihnya adalah tarianmu yang terus berlari. berlari!
di canggah malam. rerantingan terpecah desau
awan hitam berimbun gulung. o, bintangpun tak ada. tak ada
kucari wajah kedamaian itu di kunang-kunang kelip. di laron-laron hempas
dimanakah cahaya seorang pengembara yang telah jauh tersasar. dimana hembus bayu
memecah halimun.
dengarlah seeorang bernyanyi tentang jubah malam tanpa selimut
“akulah lelaki yang senantiasa rindu pada laut, pada langit, pada hamparan warna
biru yang telah membangun telaga didadaku
bila samudera bergerak. angin riuh memecah arah
akulah nelayang yang kan terus bernyanyi tentang pukat dan jala.
begitulah rinduku pada biru”.
No comments:
Post a Comment